Selainitu, juga memuat penjelasan tentang Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dimulai dari Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat Pilar tersebut diungkapkan tentang sejarahnya, perkembangannya, tantangan kekiniannya, dan aktualisasi. 2.
Arti Politik Adu Domba Devide Et Impera HITAM PUTIH – Apa yang dimaksud dengan politik pecah belah yang diterapkan oleh Belanda? Divide et impera merupakan kombinasi strategi orang belanda dalam hal politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Secara harfiah, devide et impera dapat diartikan sebagai “pecah dan berkuasa”. Strategi ini dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran Romawi. Caranya adalah dengan menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga mudah untuk dikuasai. Dalam konteks lain, devide et impera juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Seiring waktu, devide et impera juga dikenal sebagai politik pecah belah atau politik adu domba. Politik devide et impera di Indonesia Devide et impera perama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda melalui VOC Vereenigde Oostindische Compagnie. Selain monopoli, salah satu siasat yang digunakan oleh VOC untuk menguasai nusantara adalah devide et impera. Politik adu domba bahkan dijadikan kebiasaan oleh VOC dalam hal politik, militer, dan ekonomi untuk melestarikan penjajahannya di Indonesia. Orientasinya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menaklukkan raja-raja di nusantara. Strategi Belanda yang paling ampuh menghadapi perlawanan dari penguasa lokal adalah dengan meakukan politik adu domba. VOC pun mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan besar di nusantara dengan memanfaatkan perang saudara ataupun permusuhan antarkerajaan. Berikut beberapa contoh keberhasilan VOC dalam melaksanakan devide et impera di nusantara 1. Perang Makassar Dalam perang ini, VOC berhasil menaklukkan Kesultanan Gowa dan Kota Makassar pada 1669 karena dibantu oleh Raja Bone dan Arung Palakka yang tengah berseteru dengan Sultan Hasanudin. 2. Konflik Kerajaan Mataram Konflik ini membuat posisi VOC sangat diuntungkan, sedangkan posisi Kerajaan Mataram semakin melemah karena terbagi menjadi empat kerajaan. Selain itu, Belanda juga berupaya melakukan siasat devide et impera pada Perang Saparua, Perang Padri, Perang Diponegoro atau Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Banjar, dan Perang Jagaraga. Penggunaan politik adu domba sukses membuat bangsa Indonesia berkonflik dan berebutt kekuasaan. Efektivitas devide et impera pun mendapat perhatian khusus oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Strategi Belanda di Nusantara Berikut strategi yang dilakukan Belanda saat menerapkan politik devide et impera Make friends and create common enemy Pada langkah ini, Belanda akan berusaha menjadi teman dan menciptakan musuh bersama. Apabila sudah berteman, maka negosiasi dan diplomasi akan berjalan lebih mudah. Sementara common enemy yang dimaksud adalah pihak lain yang menjadi saingan bisnis VOC. Manajemen isu Pola ini dilakukan dengan menebar selentingan kabar dan desas-desus, baik di lingkungan politik maupun sosial. Bentuk lain dari manajemen isu adalah propaganda. Bermain di dua sisi Belanda biasanya akan berpihak pada dua kubu yang saling bertentangan seolah berada posisi netral. Merekrut pemimpin lokal Belanda biasanya akan merekrut pemimpin lokal sebagai bagian dari rantai manajemen terbawah. Trik ini dilakukan dengan memberi pengakuan yang mengatasnamakan kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah. Seperti yang terjadi pada Perang Diponegoro dan Kesultanan Melayu. Mengatur terjadinya perang saudar Cara ini dilakukan dengan menggunakan pribumi sebagai kekuatan militan untuk melawan bangsanya sendiri. Pola ini terlihat di Sumatera Barat pada 1821-1837, saat Belanda berhasil memprovokasi Kaum Adat untuk berperang melawan Kaum Paderi. Devide et impera pasca proklamasi kemerdekaan RI Pasca proklamasi kemerdekaan, Belanda kembali mencoba menerapkan politik devide et impera untuk memecah belah persatuan Indonesia. Upayanya pun berhasil memecah Indonesia menjadi negara-negara bagian, yaitu Negara Indonesia Timur sekarang Papua, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.
KETIKAmenjajah Indonesia selama ratusan tahun, Belanda melancarkan serangkaian taktik politik untuk menguasai Nusantara. Salah satunya ialah taktik devide et impera, yang berarti "pecah dan berkuasa", atau dikenal juga sebagai politik adu domba. (Baca juga: 4 Raja Hebat di Masa Kerajaan Islam, Nomor 2 Usir Portugis dari Sunda Kelapa) Taktik ini memiliki tujuan untuk mencegah berkembangnya - Tujuan kedatangan bangsa Eropa, termasuk Belanda, ke Indonesia pada mulanya adalah untuk mencari rempah-rempah. Dalam perkembangannya, Belanda menjadi serakah dan berhasil menguasai rempah-rempah serta kekayaan alam Indonesia lainnya. Beberapa kekayaan alam yang dimonopoli Belanda melalui kongsi dagang VOC adalah lada dari Banten dan Aceh, beras dari Mataram, dan kopi melaksanakan monopoli perdagangan, VOC diketahui suka ikut campur dalam urusan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan mengadu domba. Mengapa VOC ikut campur dalam kerajaan-kerajaan di Indonesia dan mengadu domba? Tujuan adu domba VOC Selama abad ke-17 dan 18, perdagangan di Batavia dan beberapa wilayah di Nusantara dikuasai secara langsung oleh VOC. Namun, di luar daerah-daerah tersebut, kerajaan-kerajaan Indonesia tetap hidup sebagai kerajaan berdaulat dan memegang kendali atas pangkalan-pangkalan dan rute-rute perdagangan. Dalam persaingan dan perebutan kekuasaan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, baik melalui diplomasi ataupun peperangan, VOC akhirnya berhasil memaksakan perjanjian-perjanjian terhadap raja-raja di Indonesia. Tujuan VOC terlibat dalam urusan internal kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah VOC ingin memecah belah kekuasaan kerajaan-kerajaan pribumi. Hal ini dilakukan karena kekuatan VOC hanya terbatas, dibandingkan dengan wilayah kekuasaannya di Nusantara yang sangat luas. Dengan begitu, ancaman dari kerajaan-kerajaan yang menjadi pesaing dan belum ditaklukkan oleh VOC dapat perjanjian itu, VOC tidak hanya menuntut hak-hak monopoli perdagangan dan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga melakukan intervensi dalam masalah internal kerajaan, seperti contohnya pada pergantian takhta kerajaan. Melalui kontrak-kontrak politik seperti ini, akhirnya raja-raja di Indonesia kehilangan kedaulatannya. Baca juga Devide et Impera Asal-usul dan Upaya-upayanya di Nusantara Strategi devide et impera Kekuatan VOC di Nusantara memang terbatas, tetapi kemampuannya dalam melihat situasi politik pada kerajaan-kerajaan lokal sangat luar biasa. Ketika mengendus adanya konflik dalam kerajaan atau antarkerajaan, VOC biasanya akan berperan sebagai juru damai atau memihak pada salah satunya. VOC kemudian menjalankan strategi andalannya, yakni melakukan devide et impera atau politik adu domba. Kerajaan-kerajaan yang terlibat konflik ataupun pihak-pihak dalam sebuah kerajaan yang bertikai akan diadu domba. Strategi devide et impera terbukti berhasil membawa VOC menguasai sejumlah wilayah di Nusantara. Atas 'bantuannya' menyelesaikan konflik kerajaan, VOC mengajukan perjanjian atau bahkan diberi hadiah oleh raja berupa hak penguasaan atas wilayah tertentu. Referensi Sinaga, Rosmaida, Lister Eva Simangunsong, dan Syarifah Syarifah. 2020. Kolonialisme Belanda dan Multikulturalisme Masyarakat Kota Medan. Medan Yayasan Kita Menulis. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Politikdevide et impera atau politik adu domba merupakan sebuah strategi yang dilakukan oleh Belanda yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Belanda beranggapan bahwa masyarakat Indonesia dapat dikalahkan salah satunya adalah dengan cara memecah belah masyarakatnya. Politik Adu Domba/Politik Pecah Belah atau devide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih ini dilakukan dengan cara menciptakan perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat, membantu mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat, mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat, serta mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan devide et impera merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad ke-15. Terkhusus di Nusantara, Politik Adu Domba banyak dilakukan oleh Belanda atau VOC untuk memecah belah antara kerajaan yang bertetangga, memecah belah seorang raja dengan putra-putranya, memecah belah kerajaan yang berdaulat menjadi beberapa kerajaan, memecah belah kelompok atau golongan, serta memecah belah antara orang yang bersaing memperebutkan politik adu dombaBerikut ini lima strategi Politik Adu Domba Belanda yang berhasil memecah belah kerajaan, penguasa, serta masyarakat di Kesultanan Gowa dan Kerajaan Bone Dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar atau Gowa Gowa-Tallo telah terlibat persaingan dengan Kerajaan Bone, persaingan tersebut sudah berlangsung semenjak awal abad ke-17. Persaingan antara kedua kerajaan tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Bone takluk pada tahun 1610 dan beradah di bawah hegemoni Kesultanan setengah abad kemudian, muncul salah seorang pangeran dari Kerajaan Bone yang Bernama Arung Palakka bertekat untuk membebaskan Kerajaan Bone dari hegemoni Kesultanan Gowa. Usahanya untuk membebaskan Kerajaan Bone dimulai dengan membebaskan seluruh orang Bone yang ditahan dan dipekerja paksakan di Gowa, tindakannya tersebut membuat Raja Gowa yang saat itu dijabat oleh Sultan Hasanuddin marah dan mengejar Arung itu Arung Palakka melarikan diri ke Jawa. Di Batavia, Arung Palakka meminta bantuan Belanda VOC untuk membebaskan kerajaan Bone dari kekuasaan Gowa. VOC sendiri memiliki keinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Timur Nusantara, namun terhalang oleh Kesultanan Gowa sebagai pesaingnya. Tentunya VOC tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bisa menaklukkan Kesultanan Gowa, apa lagi telah mendapat bantuan dari kerajaan kemudian mengirim armada perang di bawah pimpinan Cornelis Janzoon Speelman bersama dengan Arung Palakka berangkat ke Makassar pada tanggal 24 November 1666, dan tiba di perairan Makassar pada tanggal 19 Desember pagi hari, tanggal 21 Desember 1666, dimulailah Perang Makassar, VOC mulai memuntahkan meriam dari kapal yang diarahkan ke benteng pertahanan Gowa, sementara Arung Palakka dan pasukan Bone menyerang dari arah darat. Sedangkan pasukan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan dengan gigih. Selama setahun peperangan, dalam keadaan terdesak, Sultan Hasanuddin kemudian dipaksa oleh VOC untuk menandatangai Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 sebagai tanda takluk kepada VOC. Stelah kekalahan Kesultanan Gowa, Hegemoni kekuasaan di Sulawesi berpindah ke Kerajaan Bone, sementara VOC dengan bebas memonopoli perdagangan di Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji di Kesultanan Banten Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Namun disaat yang sama, pengaruh Belanda VOC sudah semakin kuat di Nusantara, terutama setelah berhasil mengalahkan Kesultanan Gowa di itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Tentu saja Sultan Ageng Tirtayasa menolak perjanjian itu. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Ia kemudian banyak memimpin perlawanan-perlawanan terhadap di akhir masa pemerntahan Sultan Ageng Tirtayasa. Terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya untuk menjadi penerus raja menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa. Putranya yang bernama Sultan Haji begitu berambisi untuk segera menjadi Raja, namun tahta itu tidak kunjung diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC agar dirinya bisa segera dinobatkan menjadi raja, sebagi balasannya, VOC diberi kebebasan untuk memonopoli perdagangan di Banten. VOC yang menganggap Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penghalang dengan senang hati menerima tawaran dari Sultan mengetahui perilaku Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengepung Sultan Haji di Sorosowan Banten, VOC kemudian membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Sulatan Ageng Tirtayasa mundur dan terus melakuan perlawanan, sementara Sultan Haji dinobatkan menjadi Raja di Kesultanan Banten di bawah pengaruh tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Membagi Kesultanan Mataram Pada masa pemerintahan Mas Rangsang atau yang lebih dikenal dengan gelar Sultan Agung, Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaan dan menjadi saingan utama VOC pada penguasaan perdagangan. Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon, serta terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah Sultan Agung wafat, ia dimakamkan di Imogiri kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat Amangkurat I.Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram mengalami kekacauan dan kurang stabil karena banyak ketidakpuasan serta pemberontakan. Pada masa ini, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya. Untuk memadamkan pemberontakan ini, Amangkurat I terpaksa menjalin persekutuan dengan VOC yang awalnya merupakan pesaingnya. Dengan terjalinnya persekutuan ini, VOC bisa dengan bebas mencampuri urusan pemerintahan di Kesultanan I kemudian wafat pada tahun 1677 di Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pengganti Amangkurat II ialah Amangkurat III, namun VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC, sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi king in exile hingga tertangkap di Batavia ialalu dibuang ke Ceylon. Amangkurat III kemudian digantikan oleh Amangkurat IV, sementara Pakubuwana I digantikan oleh Pakubuwana mengakhiri kekacauan politik yang terjadi di Kiesultanan Mataram, maka pada masa pemerintahan Pakubuwana III diadakanlah Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi perjanjian itu adalah membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta selanjutnya berubah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kesultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh Hamangkubuwana I yang merupakan putra Amangkurat IV, sementara Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwana III. Berakhirlah era Kesultanan Mataram sebagai satu kesatuan politik dan Kaum Ulama dan Kaum Adat pada Perang Padri di Minangkabau Berawal dari beberapa ulama yang baru saja pulang dari Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, kembali dengan membawa pemahaman Wahabi atau reformis agama Islam yang ingin memurnikan ajaran Islam. Dengan munculnya sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri itu tentu bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang dijuluki Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Belanda yang melihat keadaan masyarakat Minangkabau yang mulai terpecah menjadikan ini sebagai kesempatan untuk menguasai wilayah Sumatra Barat. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang dan berlangsung sekitar 16 tahun. Perang Padri berakhir setelah beberapa pemimpin kaum Ulama berhasil ditangkap oleh Belanda, salah satunya yaitu Tuanku Imam Bonjol yang tertangkap pada tanggal 28 Oktober 1837. Denagn demikian, Perang Padri berakhir dan Belanda dapat menguasai wilayah Sumatra Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjidilla di Kesultanan Banjar Bermula ketika putra mahkota Sultan Adam Alwasikh yang bernama Abdul Rakhman meninggal pada tahun 1852, sehingga terjadi konflik di dalam Kesultanan Banjar, di mana Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjidillah berebut untuk mendudki tahta Kesultanan Banjar. Pangeran Hidayatullah didukung oleh kalangan istana, sementara Pangeran Tamjidillah mendapat dukungan dari tahun 1857, Sultan Adam Alwasikh akhirnya wafat, dengan segera Belanda melantik Pangeran Tamjidillah menjadi sebagai Sultan Banjar, sementara Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai Banjar ternyata tidak menyukai adanya turut campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan di Kerajaan Banjar sehingga timbul berbagai gerakan untuk menentang pemerintahan Tamjidillah. Salah satu gerakan itu dipelopori oleh seorang tokoh yang bernama Panembahan Aling. Pangeran Antasari yang juga merupakan sepupu dari Pangeran Hidayatullah ikut bergabung sehinggah pecah lah Perang Banjar pada tanggal 28 april keadaan yang semakin kacau dan tidak bisa dikendalikan, Sultan Tamjidillah mengundurkan diri dan menyerahkan kerajaan banjar kepada Belanda pada tanggal 25 juni 1859. Perang Banjar terus berlangsung antara Belanda dengan masyarakat Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Perang ini kemudian berakhir setelah wafatnya Pangeran Antasari pada tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit paru-paru dan cacar. Dengan demikian, pengaruh Belanda semakin kuat di wilayah Kesultanan Banjar di Kalimantan.
KiHadjar & dr. Tjipto keduanya diasingkan ke Belanda, dan walaupun DD juga secara perintah diasingkan ke Belanda ia malah memilih untuk "mengasingkan diri" ke Swiss, mengambil studi Doktorat/PHD di Universitas Zurich - sebagai bentuk pembangkangannya di pengasingan terhadap pemerintah kolonial.. dr. Tjipto dikembalikan ke Jawa tahun 1914, sementara ki Hadjar tahun 1919.

Politikadu domba bahkan dijadikan kebiasaan oleh VOC dalam hal politik, militer, dan ekonomi untuk melestarikan penjajahannya di Indonesia. Orientasinya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menaklukkan raja-raja di nusantara. Strategi Belanda yang paling ampuh menghadapi perlawanan dari penguasa lokal adalah dengan meakukan

Belandapernah melakukan politik adu domba di nusantara, yaitu antara. - 39580012 CallistaYosmiPhan CallistaYosmiPhan 15.03.2021 IPS Belanda pernah melakukan politik adu domba antara → Raja Gowa Sultan Hasanuddin dengan Raja Bone (Aru Palaka). maaf kalau salah ya kak.

Awalmula penjajahan Belanda di Indonesia terkait Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang berdiri pada 20 Maret 1602. Beberapa peraturan penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat nusantara yaitu: Politik adu domba, VOC melakukan politik adu domba (devide et impera) yaitu saling mengadu domba antara kerajaan yang satu dengan kerajaan
vxSp.
  • opw35mm55t.pages.dev/284
  • opw35mm55t.pages.dev/250
  • opw35mm55t.pages.dev/382
  • opw35mm55t.pages.dev/153
  • opw35mm55t.pages.dev/14
  • opw35mm55t.pages.dev/345
  • opw35mm55t.pages.dev/274
  • opw35mm55t.pages.dev/397
  • opw35mm55t.pages.dev/264
  • belanda pernah melakukan politik adu domba di nusantara yaitu antara